APABILA rutin melakukan perjalanan Ngoro-Kandangan, jangan heran jika suatu ketika mendapati kemacetan di jalan raya yang berada tepat di sisi PA di Desa Rejoagung Kecamatan Ngoro. Karena setiap tahun, pesantren tersebut selalu menggelar mujahadah kubra pengamal shalawat wahidiyah yang senantiasa menyedot puluhan ribu jamaah. Sehingga kerap meluber hingga ke jalan raya yang berjarak 200 meter dari lokasi pesantren.
Belakangan ini jumlah pedagang yang memadati sekitar lokasi mujahadah semakin bertambah banyak. Sehingga membuat jalanan tampak seperti sedang digelar bazar. Mujahadah kubra itu sendiri biasa digelar selama empat hari dalam setiap penyelenggaraan.
''Mujahadah kubra rutin kita gelar dua kali setiap tahun. Yakni setiap bulan Sura dan Rajab,'' terang KH Ahmad Masruh, pengasuh PA yang juga salah satu pengurus DPP PSW.
Biasanya, pada hari pertama sampai ketiga, setidaknya 10 ribu sampai 20 ribu jamaah memadati lokasi mujahadah kubra setiap malam. ''Pada hari terakhir mujahadah yang hadir bisa sampai 50 ribu,'' tuturnya. Mereka berasal dari seluruh penjuru Indonesia.
Karena DPP PSW telah memiliki 18 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) setingkat provinsi dan tidak kurang 200 Dewan Pengurus Cabang (DPC) setingkat kabupaten/kota. ''Kita punya perwakilan istimewa di DKI yang mengurusi para jamaah di luar negeri,'' urainya.
Hanya saja Masruh menegaskan bahwa pengamal shalawat Wahidiyah tidak memiliki keterikatan sebagaimana thariqoh. ''Shalawat Wahidiyah tidak seperti doa-doa lainnya yang harus digurukan. Jadi tidak ada guru, mursyid atau pun murid. Yang ada hanya muallif (penyusun, Red) dan pengamal. Jadi tidak pakai ijazah agar dapat mengamalkannya. Siapa pun boleh mengamalkannya. Termasuk orang-orang yang membeli teks shalawat wahidiyah di tempat umum,'' urainya.
Karena itu organisasi penyiar shalawat wahidiyah lebih banyak fokus dalam hal penyelenggaraan kegiatan-kegiatan semacam mujahadah. Tidak masuk dalam urusan personal pengamalnya. Sehingga pengamal bebas mengamalkan shalawat sesuai kehendaknya. Karena memang shalawat wahidiyah bukan wiridan wajib. ''Siapapun boleh mengamalkannya atau tidak,'' terangnya.
Uniknya, shalawat wahidiyah juga boleh diamalkan oleh orang-orang yang tidak beragama Islam. ''Perintah membaca shalawat dalam Alquran itu ditujukan pada orang beriman, bukan orang Islam. Dan semua agama punya keimanan,'' ungkapnya.
Dia pernah menjumpai beberapa orang nonmuslim mengamalkan shalawat wahidiyah saat sakit, memiliki masalah atau menghadapi problematika. Setelah masalahnya selesai, baru dia tergerak masuk Islam.
Tujuan pengamalan shalawat wahidiyah itu sendiri untuk membina akhlak, menjernihkan hati. Menjadikan hati bersih dan sadar pada Allah. Inti ajarannya sendiri ada dua. Yakni lillah, yang berarti semua dilakukan untuk Allah. Serta billah, yakni menyadari dalam hati bahwa semua yang memberi kemampuan ibadah dan berbuat adalah Allah.
Shalawat Wahidiyah disusun oleh KH Abdul Majid Ma'ruf Kedunglo Kediri dan mulai disebarkan pada 1963. Pesantren At-Tahdzib ditempati sebagai sekretariat pimpinan pusat sejak 1991 saat PA masih diasuh KH Ihsan Mahin. KH Ihsan Mahin mendirikan PA pada 1962, tepat bersamaan dengan tahun lahirnya KH Masruh.
''Bapak (KH Ihsan Mahin, Red) meninggal pada 2001 beberapa saat setelah Gus Dur lengser. Malah ada yang bilang karena kaget Gus Dur dilengserkan dari presiden,'' urai KH Masruh. Saat ini, PA memiliki 1200 santri yang menempuh pendidikan formal mulai MTs sampai perguruan tinggi dan pendidikan diniyah sampai jenjang ke sembilan. ''Kurikulum tentang shalawat saya berikan khusus pada siswa kelas terakhir,'' tukasnya.
Sumber : Jawa Pos
Home
»
Informasi
»
Serba-Serbi
» Melongok Pengamal Shalawat Wahidiyah di Pesantren At-Tahdzib, Rejoagung