Kejadian di Trowulan membuat wajah Indonesia yang selama ini punya kiprah yang baik di mata Internasional dalam melindungi cagar budaya, tercoreng.
Menurut guru besar Arkeolog Universitas Indonesia Prof. Dr. Mundarjito peneliti dan pemerhati situs Majapahit, Trowulan yang menjadi ibukota kerajaan saat Majapahit mencapai puncak kejayaan merupakan satu-satunya peninggalan purbakala berbentuk kota dari era kerajaan-kerajaan kuno di masa klasik Nusantara.
Sebagai bekas kota, di Situs Trowulan dapat dijumpai ratusan ribu peninggalan arkeologis baik berada di bawah maupun di permukaan tanah yang berupa artefak, ekofak, serta fitur. Sebagaimana yang pernah diteliti Nurhadi Rangkuti, di Trowulan telah ditemukan sedikitnya 32 kanal, satu kolam seluas lebih kurang 6,5 hektar, dua pintu gerbang ; gapura Bajangratu dan Gapura Wringin Lawang, pemukiman dan pendopo kuno, candi Hindu dan Buddha, seperti Candi Brahu, Candi Tikus, dan Candi Gentong.
Melihat begitu besarnya nilai peninggalan sejarah dan potensi wisata di Trowulan, pemerintah mulai merencanakan sebuah proyek yang diberi nama Pusat Informasi Majapahit (PIM). Meski sudah direncanakan sejak 2007, peletakan batu pertama oleh Menbudpar, Jero Wacik baru bisa diwujudkan tanggal 3 November 2008 dan dilanjutkan dengan pembangunan fisik pada 22 November.
Sekilas bila kita melihat tujuan dari pembangunan PIM itu sendiri adalah untuk menjadikannya sebagai pusat informasi mengenai sejarah, peradaban dan kekuasaan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Yaitu dengan cara menyatukan semua situs Majapahit di dalam sebuah taman dengan konsep yang terpadu agar situs-situs tersebut bisa diselamatkan dan bisa menarik minat wisatawan. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menyatakan gagasan pembangunan Taman Majapahit bertujuan untuk mengangkat kebesaran dan peradaban Majapahit.
Selain itu, menurut Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Timur, I Made Kusumajaya, pembangunan PIM di atas lahan seluas 2.190 meter persegi sudah selayaknya didukung sebab selama ini situs Majapahit hanya menjadi milik komunitas arkeolog. Majapahit adalah milik masyarakat Indonesia, maka sudah selayaknya semua kalangan masyarakat mengetahuinya.
Menurut rencana, PIM akan dibangun dalam bentuk bintang bersudut delapan atau disebut Cungkup Surya Majapahit yang menjadi lambang kerajaan Majapahit. Di bangunan inilah akan dipamerkan sejumlah koleksi benda-benda bersejarah peninggalan Majapahit dan dengan berjalan di atas ubin kaca, pengunjung dapat melihat langsung berbagai bangunan peninggalan kerajaan tersebut.
Di sisi lain, diakui atau tidak, melihat dari site plan-nya, pembangunan ini penuh dengan kepentingan bisnis. Itu terlihat dari besarnya Camping Ground, area Wisata Kuliner, Playground, dan bahkan ada restoran apung di situs Kolam Segaran. Luas wilayah-wilayah tersebut tidak sebanding dengan luas gedung Pusat Informasi Majapahit yang letaknya di pojokan sehingga keberadaannya bisa dihiraukan. Bisa jadi keberadaan gedung PIM akan terlupakan dan tujuan untuk memperkenalkan Majapahit ke masyarakat tidak tercapai sebab pengunjung ke sana karena hanya ingin kemping, makan, atau berenang, bukan untuk melihat sejarah Majapahit.
Meskipun begitu, ide pembangunan PIM ini memang brilian, namun yang menjadi masalah adalah penyimpangan tujuan dari pembangunan yang dianggap tidak konsisten. Mega proyek pembangunan PIM bukannya menyelamatkan situs-situs Majapahit malah merusak.
Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur I Made Kusuma Jaya mengatakan, kerusakan disebabkan oleh beberapa hal. Di antaranya metode pembuatan pondasi dengan cara menggali tanah yang seharusnya tidak dilakukan karena akan merusak situs dalam jumlah banyak.
Kerusakan juga tidak hanya diakibatkan oleh pembangunan PIM tersebut. Menurut Kepala Museum Trowulan Aris Soviyani, kerusakan juga diakibatkan oleh industri pembuatan batu bata yang dianggap lebih serius bahkan lebih parah. Dari data penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, setiap tahunnya sekitar 6,2 hektar lahan di situs Trowulan rusak akibat pembuatan batu bata yang telah menjadi sumber penghasilan masyarakat setempat. Sedikitnya 5.000 keluarga menggantungkan hidupnya pada industri batu bata, yang bahan bakunya berasal dari galian tanah di sekitar situs Majapahit. Upaya untuk melakukan tindakan penyelamatan situs ini, kalah cepat dengan ulah sebagian masyarakat yang melakukan penggalian.
Oleh sebab itu, menurut Prof. Dr. Mundarjito, agar kerusakan tidak semakin meluas perlu ditetapkan hukum batas-batas kawasan dan batas-batas zona di dalam kawasan itu secara geografis, administratif, dan kultural sehingga jelas mana wilayah perlindungan dan mana wilayah pengembangan. Selama belum ada tindakan tegas untuk melindungi kawasan Trowulan, peninggalan-peninggalan masa lalu akan dirusak dan itu sama dengan merobek halaman-halaman sejarah yang belum sempat dibaca.
Melihat protes yang besar dari sejumlah pihak, Direktorat Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata membentuk sebuah Tim Evaluasi Pembangunan PIM pada awal Desember 2008. Di dalam tim tersebut terdapat Prof. Dr. Mundardjito,Arya Abieta, Osriful Oesman, Daud Aris Tanudirjo, dan Anam Anis. Dari hasil evaluasi yang dilakukan, tim ini merekomendasikan penghentian penggalian pondasi karena mulai mengarah pada pengrusakan temuan struktur bangunan kuno. Tetapi usul itu tidak dihiraukan, penggalian dan pengecoran beton tetap saja dilanjutkan.
Ketika dilakukan evaluasi kembali pada l5 Desember 2008, pengrusakan semakin parah. Hanya demi memasang tulang baja untuk alas pilar, sebuah dinding sumur kuno dari jobong dan gerabah berbentuk silinder dijebol. Sementara sebagian struktur dinding bangunan kuno ditimbun tumpukan batu dan semen untuk pondasi bangunan. Melihat kondisi itu kegiatan proyek baru dihentikan.
Pada awal Januari 2009, walaupun sudah dinyatakan untuk menghentikan pembangunan, pengrusakan di lapangan masih saja dilakukan. Mundardjito bersama tim akhirnya membongkar ketidakberesan dan kejanggalan dalam pembangunan PIM. Protes pun semakin keras sehingga pemerintah melalui Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar), atas perintah langsung Menbudpar Jero Wacik, menghentikan proses pembangunan.
Kemudian pada 8 Januari 2009, puluhan pemangku kepentingan di Direktorat Sejarah dan Purbakala Depbudpar, Jakarta, menyepakati Situs Trowulan yang rusak akibat proyek PIM harus direhabilitasi dan diteliti kembali dengan melibatkan para ahli. Tim evaluasi juga memutuskan untuk merelokasi pembangunan PIM di Trowulan, di lokasi yang masih ada situs, namun jumlah situsnya sudah sedikit dan banyak yang rusak. Untuk itu, diputuskan bakal lokasi Taman Majapahit berada di atas situs dengan areal hanya sebesar 2.000 meter persegi saja. Keputusan ini diambil karena jika dipindahkan keluar kota akan membutuhkan dana yang besar.
Tercoreng
Walaupun ada upaya untuk kembali merehabilitasi keberadaan situs tersebut, namun dengan kejadian Trowulan ini, wajah Indonesia yang selama ini punya kiprah yang baik di mata Internasional dalam melindungi cagar budaya telah tercoreng. Dimana pada tahun 1980-an Indonesia berhasil memugar Borobudur dengan menggandeng UNESCO. Yang dilanjutkan dengan membantu pemugaran kompleks Candi Angkor Wat di Kamboja.
Pemerintah seharusnya mempunyai peran yang lebih untuk melindungi situs atau jika perlu menggali situs tersebut agar informasi secara keseluruhan mengenai keberadaan kerajaan Majapahit dapat digambarkan secara keseluruhan. Sejauh ini, luas wilayah situs yang menjadi daerah cagar budaya Trowulan terdiri dari atas satu kecamatan dan 16 desa seluas 42,98 km2 dari 9 x 11 km kota kuno Majapahit di Trowulan. Pemerintah hanya menguasai sebidang tanah tanah seluas 57, 255 m2. Dan selebihnya, pemerintah tak bisa berbuat banyak untuk mencegah kerusakan situs yang terdesak oleh permukiman penduduk dan bangunan lain.
Kasus Trowulan hanya sebagian kecil persoalan saja, atas berbagai warisan budaya yang kuurang mendapat perhatian dari pemerintah. Di berbagai daerah di Tanah Air, masih banyak situs bernilai sejarah dibiarkan telantar. Misalnya titik awal Kota Banda Aceh di sekitar makam raja-raja di kawasan Gampong Pande, yang kini justru menjadi tempat pembuangan sampah atau pengolahan tinja. Orang dalam, pengelola museum itu sendiri ada yang tega menjual arca atau patung bernilai sejarah kepada mafia barang antik yang sudah punya jaringan di Indonesia seperti penjualan arca Museum Radya Pustaka di Solo.
Kebijakan pemerintah yang selama ini juga sering kali dikeluhkan adalah alih fungsi bangunan kuno atau dijual telah menyebabkan hilangnya bangunan-bangunan tua bernilai sejarah. Dan hal ini banyak kita jumpai di kota-kota besar lainnya di Indonesia yang sedang lagi marak-maraknya melakukan pembangunan. Kebijakan yang mengalihfungsikan bangunan kuno atau merusak situs tentu saja menunjukkan miskinnya kesadaran sejarah bangsa ini.
Untuk itu, sebagai bangsa yang kaya akan sejarah sudah saatnya kita menjaga dan melestarikan berbagai peninggalan sejarah. Sebab semakin banyak memiliki sejarah, maka semakin tinggi pula nilai intelektual yang diwariskan di dalamnya. Mengubah paradigma lama untuk lebih menghargai warisan leluhur kita adalah solusi penyelamatan nilai-nilai sejarah tersebut. Jangan kita menjadi masyarakat yang anti sejarah. Janganlah kita menjadi seperti yang diungkapkan budayawan Bandung, Jakob Sumardjo,”bangsa kita adalah bangsa antisejarah selalu membunuh masa lalunya.” BHS, CID (Berita Indonesia 64)
Sumber : Berita Indonesia