Jakarta-(satujurnal.com)
Mantan Menteri Agama, Maftuh Basyuni diutus Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbang ke Arab Saudi untuk menemui keluarga majikan yang menjadi korban pembunuhan TKI Satinah, untuk mengejar batas waktu penyerahan uang tebusan 3 April 2014.
Maftuh Basuni bersama tim satgas yang terdiri dari perwakilan beberapa instansi terkait, antara lain Kemenlu, Kemenakertrans bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta, Jumat (28/3/2014) tengah malam.
Mereka membawa uang tebusan SAR 5 juta riyal atau sekitar Rp 15 miliar untuk menyelamatkan Satinah dari hukuman pancung.
"Kami mendapat perintah dari Bapak Presiden untuk menyelesaikan masalah Satinah yang akan dihukum mati. Kami mohon doa restu dari seluruh rakyat Indonesia agar misi ini lancar," ujar Maftuh.
Uang tebusan tersebut, masih kurang SAR 2 juta dari permintaan keluarga, yakni SAR 7,5 juta atau sekitar Rp 21 miliar. Namun sesuai kesepakatan sebelumnya, kekurangan SAR 2 juta ini dapat diangsur selama dua tahun.
Dengan diterimanya pembayaran uang tebusan sebesar 5 juta riyal ini, diharapkan keluarga korban sepakat untuk menunda pelaksanaan hukuman mati terhadap Satinah.
Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Abdul Wahab Bangkona mengatakan, batas waktu pembayaran diat sesuai perjanjian sebelumnya 3 April. Bila pihak keluarga menerima uang tebusan SAR 5 juta tersebut diterima keluarga, Satinah dapat bebas dari hukuman mati.
Namun, bila nilai tebusan SAR 5 juta tersebut ditolak, tim akan berupaya melobi agar keluarga mau mengundurkan waktu penyerahan. Selain Satinah, masih ada 38 TKI yang bernasib sama, yakni divonis hukuman mati di Arab Saudi dan menunggu dikabulkannya permohonan maaf dari pihak keluarga.
Tragedi Satinah bermula tahun 2006 tatkala ia mengadu nasib sebagai TKW di Arab Saudi. Dia berangkat melalui penyalur TKI PT Djasmin Harapan Abadi. Dia ditempatkan di Provinsi Al Qassim, bekerja di keluarga Nura Al Gharib. Namun malang bagi Satinah, dia mengaku sering disiksa majikannya.
Tidak tahan dengan perlakuan kasar yang berkali-kali diterima, akhirnya pada 2007 Satinah melawan. Saat itu Satinah dan majikan perempuannya, Nura Al Gharib, sedang berada di dapur. Entah karena apa, Nura membenturkan kepala Satinah ke tembok. Satinah balas memukulkan adonan roti ke tengkuk Nura hingga korban pingsan. Nura meninggal setelah sempat koma beberapa lama di rumah sakit.
Satinah langsung menyerahkan diri ke kantor polisi setempat dan mengakui perbuatannya. Satinah juga dikenai pasal perampokan karena dianggap melarikan uang majikan sebesar 37.970 riyal. Satinah diadili pada 2009-2010. Dia dijatuhi hukuman mati mutlak dengan dakwaan tuduhan melakukan pembunuhan berencana pada majikan perempuannya.
Pemerintah Indonesia mengintervensi dengan melakukan lobi-lobi. Pemerintah meminta Arab Saudi sebagai mediator dengan pihak keluarga Nura agar keluarga memberi pemaafan dengan cara membayar uang darah. (rol/dt/one)
Mantan Menteri Agama, Maftuh Basyuni diutus Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) terbang ke Arab Saudi untuk menemui keluarga majikan yang menjadi korban pembunuhan TKI Satinah, untuk mengejar batas waktu penyerahan uang tebusan 3 April 2014.
Maftuh Basuni bersama tim satgas yang terdiri dari perwakilan beberapa instansi terkait, antara lain Kemenlu, Kemenakertrans bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta, Jumat (28/3/2014) tengah malam.
Mereka membawa uang tebusan SAR 5 juta riyal atau sekitar Rp 15 miliar untuk menyelamatkan Satinah dari hukuman pancung.
"Kami mendapat perintah dari Bapak Presiden untuk menyelesaikan masalah Satinah yang akan dihukum mati. Kami mohon doa restu dari seluruh rakyat Indonesia agar misi ini lancar," ujar Maftuh.
Uang tebusan tersebut, masih kurang SAR 2 juta dari permintaan keluarga, yakni SAR 7,5 juta atau sekitar Rp 21 miliar. Namun sesuai kesepakatan sebelumnya, kekurangan SAR 2 juta ini dapat diangsur selama dua tahun.
Dengan diterimanya pembayaran uang tebusan sebesar 5 juta riyal ini, diharapkan keluarga korban sepakat untuk menunda pelaksanaan hukuman mati terhadap Satinah.
Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) Abdul Wahab Bangkona mengatakan, batas waktu pembayaran diat sesuai perjanjian sebelumnya 3 April. Bila pihak keluarga menerima uang tebusan SAR 5 juta tersebut diterima keluarga, Satinah dapat bebas dari hukuman mati.
Namun, bila nilai tebusan SAR 5 juta tersebut ditolak, tim akan berupaya melobi agar keluarga mau mengundurkan waktu penyerahan. Selain Satinah, masih ada 38 TKI yang bernasib sama, yakni divonis hukuman mati di Arab Saudi dan menunggu dikabulkannya permohonan maaf dari pihak keluarga.
Tragedi Satinah bermula tahun 2006 tatkala ia mengadu nasib sebagai TKW di Arab Saudi. Dia berangkat melalui penyalur TKI PT Djasmin Harapan Abadi. Dia ditempatkan di Provinsi Al Qassim, bekerja di keluarga Nura Al Gharib. Namun malang bagi Satinah, dia mengaku sering disiksa majikannya.
Tidak tahan dengan perlakuan kasar yang berkali-kali diterima, akhirnya pada 2007 Satinah melawan. Saat itu Satinah dan majikan perempuannya, Nura Al Gharib, sedang berada di dapur. Entah karena apa, Nura membenturkan kepala Satinah ke tembok. Satinah balas memukulkan adonan roti ke tengkuk Nura hingga korban pingsan. Nura meninggal setelah sempat koma beberapa lama di rumah sakit.
Satinah langsung menyerahkan diri ke kantor polisi setempat dan mengakui perbuatannya. Satinah juga dikenai pasal perampokan karena dianggap melarikan uang majikan sebesar 37.970 riyal. Satinah diadili pada 2009-2010. Dia dijatuhi hukuman mati mutlak dengan dakwaan tuduhan melakukan pembunuhan berencana pada majikan perempuannya.
Pemerintah Indonesia mengintervensi dengan melakukan lobi-lobi. Pemerintah meminta Arab Saudi sebagai mediator dengan pihak keluarga Nura agar keluarga memberi pemaafan dengan cara membayar uang darah. (rol/dt/one)