Paulus Swasono Kukuh |
Mojokerto-(satujurnal.com)
Kalangan DPRD Kota Mojokerto menilai Walikota Mojokerto, Mas�ud Yunus mulai �lempar handuk� lantaran terkesan membebankan perwujudan Kota Mojokerto sebagai Service City yang diusung dan terus dipropagandakan di setiap kesepatan. Menyusul permintaan Mas�ud Yunus agar pilar-pilar dalam konsep Service City itu ditanggung semua stake holder.
�Konsep service city yang diusung walikota muara dari visi dan misi lima tahun ke depan yang dicetuskan di gedung Dewan dalam rangkaian proses Pilwali, Agustus 2013 lalu. Tapi saat memberi jawaban atas pandangan umum fraksi-fraksi terhadap penyampaian RPJMD 2014 � 2018 terkesan memberikan tanggungjawab perwujudan konsep itu ke semua stake holder,� kata Paulus Swasono Kukuh, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Mojokerto, usai rapat paripurna �jawaban Walikota atas pandangan umum fraksi-fraksi terhadap penyampaian RPJMD, Rabu (28/05/2014).
Memang, ujar Paulus, secara normatif semua warga Kota Mojokerto juga harus mendukung program pembangunan yang dirancang walikota. Namun, terhadap pilar-pilar yang dijabarkan dalam konsep service city, menjadi tanggungjawab walikota untuk mengimplemtasikannya. �Kalau kemudian menyebut, beban dan tanggungjawab perwujudan service city ada di tangan stake holder, sama juga walikota lempar handuk. Semestinya, ya tunjukkan langkah-langkah strategis yang akan dilakukan untuk mewujudkan istilah �asing� itu,� singgung dia.
Sebenarnya, lanjut Paulus, istilah service city yang diusung Walikota Mas�ud Yunus juga perlu penerjemahan yang pas. Karena istilah itu ia ketahui sudah jamak digunakan di kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kadin (kamar dagang dan industri).
�Terus terang kita khawatir jika istilah itu dipaksakan agar Kota Mojokerto terkesan punya jargon atau motto yang wah. Apa tidak lebih baik dicari padanan kata bahasa Indonesia agar lebih pas dan mudah terserap maknanya oleh warga Kota Mojokerto,� sindir anggota Komisi II (perekonomian dan pembangunan) tersebut.
Sejumlah istilah-istilah yang muncul dalam penyampaian RPJMD pun di gedung Dewan terus dikuliti. Beberapa anggota Dewan mengaku �kewalahan� menerjemahkan belasan istilah asing yang nyantol di penyampaian RPJMD.
�Ada istilah �Head to Head� untuk menyebut bahwa penyusunan RPJMD mengadopsi model perencanaan pembangunan yang benar-benar menyerap aspirasi masyarakat. ��Head to Head� itu maknanya berhadap-hadapan. Masak kita harus berhadap-hadapan dengan masyarakat sekedar menyerap aspirasi,� tanya dia.
Diakui atau tidak, kata Paulus, Walikota Mas�ud Yunus sarat dengan istilah asing kala menyebut proses pembangunan.
�Ada disebut �civil society� saat mengatakan bahwa pemerintah kota memberi ruang lebih kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Masyarakat madani yang bagaimana yang akan diwujudkan itu. Terus terang kita tidak ingin latah dibilang lebih maju dari daerah lain lalu secara obral menyerap istilah-istilah asing yang belum tentu sama dengan target yang sebenarnya ingin dicapai,� tandas dia.
Yang pasti, ucap Paulus, Dewan tidak dalam kapasitas mengkritisi konsep maupun istilah-istilah yang berbau asing yang belakangan sering digunakan Walikota dalam berbagai kesempatan. �Kita lihat hasilnya saja. Sekarang hampir setengah tahun memegang Kota Mojokerto. Nanti, evaluasinya genap satu tahun. Sejauh mana konsep dan pilar-pilar service city itu bisa diaplikasi dan diwujudkan untuk warga Kota Mojokerto,� tukas dia. (one)