03.47
0
Oleh : Isnanur Janah, S.Pd *)

PENDIDIKAN gratis yang sedang di-launching oleh pemerintah saat ini seolah jadi angin surga yang menyejukkan hati masyarakat di tengah impitan ekonomi yang menyesakkan. Sebagai sebuah kebijakan, pendidikan gratis harusnya diterima masyarakat dengan gembira tetapi kenyataannya masyarakat menanggapi program tersebut dengan dingin.

Apatisme masyarakat tersebut dikarenakan buruknya implementasi dari setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat tidak pernah melihat keseriusan pemerintah dalam memajukan dunia pendidikan.

Buktinya, fakta di lapangan jauh dari harapan. Jangankan gratis, untuk mendapat pendidikan murah saja sangat sulit. Bayangkan, masuk TK dan SD saja dibutuhkan biaya Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta padahal tingkat kesejahteraan masyarakat jauh dari kelayakan. Akhirnya impian orang miskin untuk mengenyam bangku pendidikan tinggallah impian. Pantaslah jika masyarakat menganggap kebijakan tersebut hanyalah kebijakan musiman menjelang pemilu.

Diakui atau tidak, pemerintah Indonesia telah masuk dalam cengkraman ekspansi globalisasi di bidang pendidikan, karena poin-poin neoliberal secara nyata telah berjalan. Bukti-buktinya adalah sebagai berikut:

Pemerintah membuka pasar bebas dalam pendidikan sejak meratifikasi General Agreement Trade Service (GATS) World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995. GATS mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, akuntansi, pariwisata, pendidikan, transportasi dan lain-lain.

Pemerintah telah memotong pengeluaran untuk pendidikan yang dianggarkan 20 persen dari APBN berdasarkan UU No 20/2003 menjadi 12 persen dari APBN di tahun 2008.

Pemerintah melakukan deregulasi mengurangi peraturan-peraturan yang mempersulit dunia bisnis memperoleh keuntungan dalam bidang pendidikan. Pendidikan di-privatisasi dengan Status Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Pemerintah mengalihkan tanggung jawab pemerintah dalam pelayanan publik atau komunitas kepada masyarakat untuk menanggungnya melalui komite sekolah atau paguyuban.

Proses masuknya cengkraman ekspansi globalisasi ke dalam pendidikan di Indonsia diantaranya negara dijerat utang oleh IMF dan World Bank sehingga Indonesia terikat dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh IMP-World Bank. Salah satunya meminimalisir peran negara dalam pelayanan publik termasuk dengan pendidikan. Mengikat negara dengan komitmen global seperti Konferensi Dakkar tentang Education for All, dan lain-lain.

Memberikan bantuan gratis program-program percontohan untuk selanjutnya dilakukan secara mandiri, misalnya, CLCC melalui UNICEF-UNESCO serta MBE/DBE oleh USAID-USA yang telah sampai di Mojokerto.

Begitu jelasnya ekspansi globalisasi pendidikan mencengkeram bangsa ini menjadi suatu pertanyaan mengapa pemerintah membiarkan terjadinya kedholiman dan kesengsaraan bagi pencapaian mutu pendidikan. Pendidikan dipandang sebatas komoditi bernilai komersil sebagaimana pandangan kapitalisnya.

Dengan demikian, program pendidikan gratis yang tengah diiklankan saat ini hanyalah mimpi yang takkan pernah terealisasi atau justru akan jadi malapetaka jika paradigma yang digunakan tetaplah sama. Bayangkan, dengan membayar mahal saja masyarakat masih harus melihat gedung-gedung sekolah rusak serta pembelajaran yang tak mampu menghasilkan generasi yang tangguh apalagi jika gratis. Bukan tidak mungkin kualitas pendidikan akan semakin terpuruk.

Kita sepakat bahwa pendidikan berkualitas itu mahal sebab untuk menghasilkan generasi unggulan kita butuh guru-guru yang andal, fasilitas pilihan, serta sarana dan prasarana yang memadai dan semua itu butuh dana yang tidak sedikit, yang tidak dapat disepakati adalah jika biaya itu ditanggung oleh masyarakat.

Sebab dalam sistem pendidikan Islam, seluruh pembiayaan tersebut harus ditanggung oleh negara dengan memanfaatkan seluruh potensi SDA yang ada. (*)

*)Penulis adalah Dosen Stikes PPNI Bina SehatKab. Mojokerto

Sumber dari Radar Mojokero