04.02
0
Oleh: Anton Timur*

*) Mahasiswa Manajemen Pendidikan Unesa, tinggal di Trawas-Mojokerto.

SEKOLAH Bertaraf Internasional (SBI) begitu sering disebut orang pada akhir-akhir ini beriringan dengan penerimaan siswa baru. Katanya pembukaan SBI bertujuan untuk meningkatkan mutu dan daya saing pendidikan kita dengan sekolah-sekolah di luar negeri yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu sumber daya manusia bangsa kita.

Kabarnya pemerintah menargetkan minimal dalam satu kabupaten harus ada satu SBI pada masing-masing jenjang pendidikan. Sungguh target yang sangat fantastis dan ambisius. Dana besar pun siap digelontorkan untuk megaproyek bernama SBI ini. Bagi sekolah yang sudah berstatus SBI maka dalam pembelajarannya harus menggunakan pengantar bahasa Inggris, menggunakan buku pelajaran made in Indonesia dan tentunya menggunakan buku made in luar negeri yang berbahasa Inggris.

Di Mojokerto saja terdapat beberapa rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) untuk tingkat SMP dan SMA yang pada tahun ini statusnya berubah menjadi SBI. Pada tahun lalu sekolah yang berstatus RSBI masih membuka kelas reguler dan kelas SBI. Namun pada tahun ini karena status sekolah telah berubah menjadi SBI penuh, maka tidak lagi membuka kelas reguler karena semua kelas di peruntukkan untuk SBI.

Untuk masuk di sekolah yang sudah berstatus SBI, tidak cukup hanya bermodal pinter plus bisa berbahasa Inggris bagi para calon siswa. Calon siswa dan orang tua harus berkantong tebal untuk bisa masuk ke sekolah ini.

Bayangkan untuk SPP saja disalah satu SMAN yang berstatus SBI di Kabupaten Mojokerto uang SPP minimal Rp 200 ribu, ditambah uang sumbangan sukarela minimal sebesar Rp 2,75 juta, itu belum seragam, uang buku dan biaya lain yang harus ditanggung oleh orang tua siswa.

Mahalnya SPP dan sumbangan bagi RSBI katanya dikarenakan fasilitas yang disediakan berbeda dengan kelas reguler pada umumnya. Satu rombongan belajar diisi oleh sekitar 25 siswa, ruang belajar ber-AC dan sebagainya. Mirip dengan naik kereta api semakin mahal bayarnya semakin lengkap fasilitasnya.

Silakan saja pemerintah membuka kelas SBI kalau memang diperuntukkan untuk meningkatkan mutu pendidikan kita. Kebanyakan sekolah yang dipercaya membuka program SBI adalah sekolah yang dianggap favorit di masing-masing daerah. Disinilah kemudian timbul persoalan yang mungkinn kurang diperhatikan oleh pemerintah.

Persoalan itu antara lain pertama, tidak meratanya kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu. Hal ini dikarenakan sekolah yang berstatus SBI adalah sekolah berkategori favorit yang bisa dipastikan mutunya di atas sekolah yang ada disekitarnya. Kesempatan yang dimiliki oleh murid miskin untuk mengikuti pendidikan di sekolah SBI sangat terbatas, karena terkendala oleh besarnya biaya pendidikan.

Hal ini menyebabkan mereka beralih kepada sekolah-sekolah pinggiran dengan biaya murah serta mutunya masih kalah dengan sekolah SBI. Sehingga kesan bahwa sekolah SBI hanya dihuni oleh orang yang berduit tidak bisa terhindarkan.

Kedua, menimbulkan kesenjangan antara kaya dan miskin. Tentunya kita sudah maklum bahwa kebanyakan yang bisa masuk RSBI adalah anak-anak orang yang berduit mengingat biayanya begitu besar.

Mungkin pemerintah akan membantah dengan mengatakan bahwa semua siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa masuk di sekolah SBI. Namun dengan biaya yang sangat besar, fakta akan berbicara lain. Tidak mungkin siswa yang berasal dari keluarga miskin mampu membayar uang sumbangan dan SPP yang begitu besar.

Akibatnya adalah yang mempunyai uang bisa mengikuti pendidikan bermutu dan si miskin tetap dalam kemiskinannya dan tidak bisa mengikuti pendidikan disekolah yang bermutu. Mana ada sekolah gratis, yang ada hanya SPP yang bersubsidi pemerintah. Bila hal ini dibiarkan maka akan terjadi kesenjangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu antara masyarakat. Hal ini bisa mengancam integrasi sosial di dalam masyarakat.

Hal ini mengingatkan kita kepada sekolah zaman kolonial Belanda dulu. Pada masa itu, sekolah dibuat berdasarkan pada strata tertentu. Ada sekolah yang khusus untuk orang Belanda dan ada sekolah yang diperuntukkan khusus untuk orang pribumi.

Sekolah khusus Belanda memakai bahasa pengantar Belanda sedangkan sekolah pribumi memakai bahasa pengantar Melayu. Anak-anak yang bisa sekolah pada sekolah pribumi bukan anak sembarangan.

Mereka adalah anak-anak pejabat bagsa pribumi yang bekerja pada Belanda, tidak ada ceritanya anak orang miskin bisa sekolah pada masa itu.

Ketiga, mengancam eksistensi penggunaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran sedikit demi sedikit akan mengkikis penggunaan bahasa Indonesia.

Para siswa secara otomatis akan lebih terfokus untuk menguasai bahasa Inggris secara baik dan benar ketimbang menguasai bahasa Indonesa yang baik dan benar. Memang ini belum melalui penelitian yang mendalam, namun penulis mendengar beberapa orang guru bahasa Indonesia yang mengeluhkan siswanya kurang bisa berbahasa Indonesia sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal itu di sekolah reguler biasa.

Persoalan-persoalan di atas semestinya menjadi perhatian serius pemerintah untuk dicarikan solusi yang tepat. Mestinya jika pemerintah ingin meningkatkan mutu pendidikan yang harus diperhatikan adalah sekolah-sekolah yang mutunya rendah dan terpinggirkan termasuk sekolah swasta yang telah mempunyai andil besar bagi kemajuan pendidikan bangsa kita ketika pemerintah belum mampu menyediakan sarana pendidikan bagi semua warga negara apalagi sekolah-sekolah semacam ini banyak dihuni oleh orang-orang miskin yang berpenghasilan rendah.

Perhatian pemerintah seharusnya terfokus untuk mengangkat sekolah yang mutunya rendah agar mampu bersaing dan bermutu bagus.

Peningkatan mutu pendidikan memang harus dilakukan disemua jenjang. Namun jangan sampai menimbulkan kelas-kelas sosial dan kesenjangan baru di dalam masyarakat.

Jangan sampai model pendidikan Belanda terulang lagi di zaman ini. Memang semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk masuk ke sekolah yang berstatus SBI, namun tidak demikian dengan orang miskin. (*)

Sumber : Radar Mojokerto