00.35
0
Perupa atau seniman lukis di Kabupaten Mojokerto memang cukup banyak, namun yang mengkhususkan pada lukisan kontemporer ini bisa jadi dapat dihitung tangan. Apalagi yang melukis itu adalah seorang perempuan yang penuh dedikasi terhadap dunia kesenian.

AIRLANGGA, Ngoro

---

RUMAH yang teletak di Desa/Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto siang kemarin terlihat sepi. Hanya ada satu orang yang ada di dalam rumah. Dialah Anik Suhartatik, perempuan yang serius menekuni dunia seni lukis.

Keseriusan Ani menggeluti dunia seni juga terlihat dari suasana rumahnya. Puluhan lukisan berukuran besar tampak menghiasi dinding rumah Anik. Mulai lukisan kontemporer hingga lukisan binatang.

Siang kemarin, Anik tampak serius mengamati kanvas yang ada di depannya. Setelah mengamati dengan kedua matanya, gemulai tangan Anik mulai mengibaskan kuas di atas kanvas. Sesekali dia mencelupkan kanvas panjang ke pewarna yang dipegang dengan tangan kirinya. Paduan warna kuning, merah dan biru tampak kental di lukisan di atas kanvas berukuran 90x90 sentimeter.

Sebuah lukisan kontemporer di hadapannya menjadi fokus pandangannya. Pelan tapi pasti, lukisan yang menggambarkan apel raksasa dan bola dunia itu sudah mulai bisa ditebak bentuknya. Namun, tak gampang mengartikan pesan apa yang dilontarkan Anik lewat lukisannya itu.

Sesekali Anik mengentikan aktivitasnya dan melihat dari jarak beberapa sentimeter untuk melihat kesempurnaan lukisannya.

Terlihat capek, Anik pun menghentikan aktivitasnya. Sesekali berpikir untuk menentukan langkah agar lukisannya itu menjadi lebih sempurna. Lukisan ini menjadi topangan hidupnya. Karena dari setiap lembar yang dihasilkan, ia berharap ada rupiah yang bisa menopang kebutuhan hidup keluarganya.

Anik, bisa jadi adalah satu-satunya pelukis perempuan di Mojokerto yang masih eksis di dunianya. Karena dari sinilah perempuan berkulit kuning langsat berkacamata itu bisa bertahan hidup sebelum dirinya menjadi seorang PNS dan mengajar di SMPN 2 Ngoro.

Berpuluh-puluh tahun ia menjadikan kegiatan ini sebagai mata pencariannya. ''Saya menjadi PNS sejak tahun 2005. Sebelumnya, dengan melukislah saya menggantungkan ekonomi keluarga. Karena sebelum diangkat, gaji saya tak mencukupi,'' kata Anik sembari menyebut jika sebelumnya, ia hanya mendapatkan gaji mengajar seni rupa Rp75 ribu per bulan.

Sukses secara ekonomi memang belum diraih oleh Anik. Terbukti hingga saat ini, ia dan keluarganya harus tinggal di rumah tanpa sewa, eks kantor PDAM di Desa/Kecamatan Ngoro. Tapi setidaknya, Anik sukses menjadi tulang punggung keluarga.

Ia harus membiayai kebutuhan dua anaknya yang mulai beranjak dewasa. ''Sebelum jadi PNS, lukisan-lukisan sayalah yang menjadi penopang hidup,'' tukasnya.

Untuk bertahan hidup dari lukisan ini, Anik sempat menggantungkan idealismenya sebagai pelukis yang lebih menyukai jenis kontemporer. Karena mengejar rupiah di balik lukisannya itu, ia harus melayani pelanggan yang kebanyakan meminta lukisan jenis realis. ''Mau bagaimana lagi. Yang lebih banyak laku adalah lukisan realis,'' ujar ibu berumur 40 tahun ini.

Untuk sebuah lukisan yang dibuat, dia memang tak memasang benderol mahal. Sejauh ini, harga yang dipatok tak lebih dari Rp 3 juta dari lukisan yang berukuran paling besar. Namun dari sanalah asap dapurnya bisa mengepul.

''Mulai dari tetangga dan kerabat di sekolah. Saat ini saya sedang konsen ke lukisan kontemporer yang jauh lebih memiliki makna,'' kata lulusan IKIP Malang Jurusan Seni Rupa ini.

Akibat minimnya apresiasi masyarakat terhadap seni rupa ini maka hal ini berdampak pada minimnya masyarakat yang berminat untuk membeli hasil karya seni tersebut. Tentunya ini sangat menghambat sekali dalam proses melukis, meskipun persoalan itu bukan persoalan utama. Anik terkadang harus menghentikan kegiatan melukisnya karena memang ia tidak mampu membeli cat minyak sebagai bahan.

Sementara itu pada satu sisi Anik memang sepenuhnya menggantungkan hidupnya dari melukis. "Jadi, kita kadang-kadang terbentur kalau lagi melukis, saya terbentur bahan habis, sementara lukisan itukan tidak setiap hari dibeli orang saya dan hidup saya cuma dari lukisan kan, nah itu yang menjadi masalahnya,'' kata Anik.

Anik bukanlah orang yang suka berharap terlalu tinggi. Ia hanya bercita-cita seniman bisa mendapat apresiasi dari masyarakat

Ia menjadi sosok ibu rumah tangga yang gigih. Betapa tidak, tangannya tak pernah berhenti menghasilkan karya yang sekaligus menghasilkan rupiah. Bahkan di sela-sela mengajar siswanya, ia masih menyempatkan membuat sketsa lukisan. Sesampai di rumah, sketsa itu ia tuntaskan menjadi buah karya yang sempurna. ''Tak sehari pun tangan saya lepas dari kuas dan kanvas. Karena ini sudah menjadi kebutuhan,'' tandasnya.

Sukses sebagai tulang punggung keluarga, meski belum sukses secara ekonomi, ternyata Anik memegang sukses lainnya. Sebagai guru yang mentransformasikan ilmu kepada para siswanya. Tak sekali dua kali ia bisa mengantarkan anak didiknya sebagai juara lomba melukis.

Itu tak didapatkannya dengan mudah. Ketelatenan sebagai pendidik ia jalankan dengan benar. Metode mengajar melukispun selalu ia kembangkan. Dan hasilnya, banyak karya luar biasa yang dihasilkan para siswanya itu. ''Saya mulai membiasakan para siswa untuk melukis kontemporer. Karena banyak alasan kenapa harus memilih lukisan ini," cetusnya.

Menurutnya, era seni rupa kontemporer adalah era di mana kita tak bisa lagi yakin mengenai batas-batas dan makna seni. ''Seni kontemporer adalah terbebasnya seniman dari beban sejarah, dan dengan sendirinya terbebas dari kanon seni yang hegemonik. Seniman bebas menentukan agenda, arah, dan metode seninya,'' terangnya.

Sumber : Jawa Pos